bunuh saja laki-laki jika memang harus perempuan

“Bunuh saja laki-laki, jika memang harus perempuan”
Rumah yang berwarna coklat muda, dengan pagar bercat orange. Di teras rumah bagian depan, tertata sebuah bunga anggrek yang berwarna ungu bercampur putih yang bergantung di pohon Valem. Di sampingnya, terlihat satu mobil Avanza berwarna hitam dan satu sepeda Motor di dalam garasi yang sedikit terbuka.
Saat memasuki rumah itu, dinding-dindingnya terlihat bersih dihiasi dengan beberapa jenis foto-foto keluarga, dan lukisan mesjid di negeri Mekkah.
Lantai rumahnya memakai keramik berwarna putih. Di sebelah kanan dari pintu masuk, langsung terlihat sofa berwarna coklat tua.
  Hanya dengan sebuah senyuman, itulah awal sambutannya  ketika aku menghampirinya dari kantor LKBN ANTARA (sebuah kantor berita Nasional Indonesia) menuju desa Lampriet kecamatan Syiah Kuala kota Banda Aceh. Padahal sebelumnya kami tidak saling kenal.
“ Lelisma Sofiyati”, ucapnya sambil menjabat tanganku. Dan mempersilahkan aku duduk di sofa rumahnya. Parasnya berbentuk oval, berkulit putih, dan terlihat sedikit keturunan Mata cina. Sesuai dengan baju yang ia kenai saat itu.
Namanya tak asing lagi bagiku. Ia adalah seorang aktivis perempuan Aceh. Dan juga pernah berkecimpung sebagai ketua Divisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aceh mulai dari tahun 2002. Lelisma Sofiyati juga ikut membangun Organisasi BIRO pemberdayaan perempuan sampai tahun 2007.
 Berbagai upaya telah ia lakukan khusus bagi perempuan Aceh semasih menjabat sebagai ketua pemberdayaan perempuan.
Salah-satunya memberikan kontribusi tentang pelatihan kepemimpinan,  memberikan peralatan kerja bagi para petani, dan juga mengajarkan berbagi faham Agama bagi kaum perempuan. Serta kontribisi PPT( pusat pelayana terpadu) yang bertepatan di BayangKara.  “ Semua ini karena adanya kerja sama antar LSM lain, dan kaitannya dengan  BIRO pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak di Aceh” ujarnya.
“ Dulu saya pernah ditawarkan oleh wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, sebagai perwakilan Perempuan di salah satu partai local Aceh. Namun, saya masih mempertimbangkan tawaran tersebut. Berhalangan saya mempunyai keluarga dan dua anak, tentu harus mendapat persetujuan dari suami saya, tak lama kemudian saya tolak tawaran tersebut. Tak ada izin dari suami saya” tambahnya, sambil menelan seteguk sirup yang di amabil dari atas meja.
Kasusnya adalah sejak pemilu tahun 2009 lalu, hanya 30 persen  perempuan duduk di perlemen .semua itu karena para perempuan yang mempunyai intelektual atau para aktivis perempuan lainnya belum siap untuk menduduki Kursi DPRA. Hal tersebut membuat perempuan menjadi tersudutkan, dengan statement bahwa perempuan bukan untuk memimpin Negara, tapi hanya sebagi pekerja rumah tangga saja.
“ ketika saya bergabung dalam pemberdayaan perempuan Aceh, saya mencoba memperjuangkan nama baik perempuan Aceh, menyangkut permasalahan  gender, saat-saat diskusi mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, siapa  yang menduga, ada salah satu dari forum mengatakan di dihadapan semua undangan, “bunuh saja laki-laki, jika memang harus perempuan” tegas seorang laki-laki bagian dari dalam forum diskusi terserbut. Para hadirin tertawa. Menggap kata-kata tersebut terlalu Aneh untuk di ucapkan. Jika masih ada laki-laki mengapa harus perempuan?”cerita  Lelisma dengan sedikit terlihat dari raut wajanya yang geram terhadap pernyataan tersebut.

Pasca Rekontruksi Aceh, banyak  masyarakat yang masih hidup susah, terutama para janda korban konflik dan korban tsunami tahun 2004 lalu. Anak-Anak di terlantarkan, Adanya terjadi perebutan Harta warisan, dan banyak lagi yang tidak diketahui di dalam masyarakat. Karena belum ada pendataan khusus bagi para korban konflik, hanya ada sebahagiannya saja.
‘saat saya berada dilapangan Pasca Tsunami, hari itu melakukan kunjungan dalam rangka melihat situasi dan kondisi rumah korban Tsunami di daerah Kota, terlihat satu orang perempuan yang duduk sendirian, kemudian saya menghampirinya, keluarganya telah dibawa gelombang Tsunami, hanya tinggal ia sendiri.
Ia berkata kepada saya, “ untung saya masih hidup, jika sayapun  hanyut di bawa gelombang Tsunami, tentu tak ada lagi yang memdo’akan kami. Sekarang aku bisa mendo’akan keluargaku yang telah pergi”. Itulah cerita dari korban yang saya dapatkan. Rasanya, air mata takkan bisa mengembalikan ke masa lalu”. Kisah Lelisma dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.  
                                                          ***
“ Sebenarnya tak ada larangan bagi perempuan untuk menjabat sebagai pemimpin Negara”. tangkas Yusran Wakil dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari provinsi kota. “ Tak ada masalah dari urutan No Calon Anggota yang mendaftar sebagai anggota DPRA, pertanyaanya, siap atau tidak perempuan duduk di perlemen?!nyatanya hanya 4 orang perempuan pada pemilu 2009 lalu yang terdaftar di DPRA, sedangkan di kabupaten kota tidak satupun keterwakilan dari perempuan” tegasnya lagi saat aku menanyai tentang perempuan Aceh.
“Secara keseluruhan pemilihan umum dilakukan secara terbuka, bebas, dan rahasia. Apalagi masyarakat Aceh banyak terlihat perempuannya, nah… pada saat pemilihan calon perlemen, mengapa perempuan tidak memilih perempuan? Sebenarnya tidak sama sekali berkaitan dengan permasalahan gender. Toh, perempuan sudah diberikan kesempatan, mengapa tidak mendapatkan suara terbanyak juga?!!”. Kalimat pernyataan dan pertanyaan terus diberikan oleh laki-laki yang berkulit saoh matang itu. Sambil merebahkan badannya di kursi.
Mulai dari sejak awal berdirinya BIRO Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2001 -2008 dan pada tahun 2009 baru dapat terealisasikan. Kemudian sejak di sahkan Qanun No.6 Tentang Pemberdayaan Perempuan dan Qanun No.  tentang perlindungan Anak.
                                                        ***
Esoknya, Aku ingin berkunjung ke Masjid Baiturahman Banda Aceh. Terlihat beberapa mobil patroli yang di naiki beberapa perempuan WH (wilayatul hisbah) berkeliling di seputaran Masjid. Suasana terlihat sepi, aku berteduh di bawah pohon tepat di samping Menara dari sebelah utara. Di hadapanku, ada dua perempuan yang duduk menghadap tepat kearah Masjid tersebut. Dengan memakai seragam dinas berwarna hijau lumut. “ kami hanya mengawasi laki-laki yang tidak pergi shalat jum’at” kata salah seorang dari mereka.
Tampa ada banyak waktu mereka langsung pergi menaiki mobil Dinas Patroli. Menuju kantor WH di Blang Padang.

Tak banyak data yang kudapatkan. Dari petugas WH perempuan tersebut.
“ perempuan juga bisa memimpin, banyak hal yang harus dilakukan oleh perempuan Aceh kedepannya”. Hanya satu kalimat yang dapat ia sampaikan saat itu. Tampa menyebutkan Indentitasnya.
 Banyak lagi perempuan- perempuan Aceh yang menjadi tonggak kehidupan. Saat usai shalat jum’at tepat jam 13:30 Wib. Suasana kota mulai ramai, beberapa pengemis yang biasanya mangkal di halaman Masjid Biturahman tersebut, mulai meramai. Tak lain masih saja banyak perempuan. Yang menjulurkan tangannya kea rah para jama’ah yang sudah keluar.
Mulai dari anak kecil sampai dengan orang tua sekalipun.
“ masih banyak harapan perempuan khususnya di Aceh, untuk menjadi yang lebih baik, apalagi Aceh adalah wilayah yang terkenal dengan syri’at islam, kesempatan selalu ada. Namun, tergantung siapa yang mau mengambil kesempatan tersebut”. Ujar Lukman Nulhakim aktivis kampus IAIN Ar-Raniry itu.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar