IBU TIRIKUll
Aku anak terakhir dari empat bersaudara, semuanya perempuan, ibu dan ayahku sangat mencintai kami semua. saat itu aku masih berusia Enam Tahun. Dimana orang-orang mulai memasuki dunia pendidikan yaitu Sekolah Dasar. Tak sabar lagi aku ingin seperti mereka, ibu pasti tau bahwa keinginanku untuk bersekolah sangat tinggi. Akupun tersenyum, saat mendengar pembicaraan ibu dan ayah di ruang makan. Rumahku tak seindah rumah orang lain, disebuah desa di Gampong Meunasah, rumahku beratap dari dauh rumbiya, itulah bentuk rumahku. Sempit, kumuh, untuk keluarga sepertiku tak ada masalah. Bukan masalah harta, bukan juga bentuk rumah, yang kumau bagaimana caranya aku bisa bersekolah seperti anak yang lainnya. Ibuku mengatakan bahwa aku harus masuk sekolah agar bisa baca tulis. Bagi mereka seorang anak yang sudah mahir dalm membaca, berarti sudah mencerdaskan bangsa. Tak lagi dianggap buta huruf bagi orang –orang di desaku itu. Tak semua anak dapat bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah tamat SMA saja sudah mencapai kebanggaan yang luar biasa. Karena telah mendapatkan tiga ijazah, mulai dari SD, SMP, dan SMA. Kebahagiaan hatiku tak dapat kuukir melalui kata-kata. Terbang, menerawang, seakan-akan tak sabar mencicipi huruf demi huruf yang diajarkan oleh seorang guru. Selain aku bisa membaca, aku juga mempunyai begitu banyak teman di sekolah.
Tinggal menghitung hari, pada tanggal 28 Februari pendaftaran di sekolah SD N.1 Meunasah Baroe telah ditutup. Aku merasa gelisah, mengapa ibuku tak juga mendaftarkan aku kesekolah. Padahal aku telah mendengar dari ayah dan ibuku, bahwa aku aka bersekolah karena usiaku telah genap. Aku hanya bisa melihat seorang anak tetanggaku yang berjalan bersama ibunya , dari balik jendela rumah, Aku menebarkan senyum. meskipun hati ini masih khawatir dengan keadaanku sendiri. Pikiranku hanya pada seragam merah putih itu, jika tak kudapatkan, mungkin akulah satu-satuya anak didesa itu yang tak bersekolah. Betapa ruginya jika aku tidak mendapatkan ilmu seperti mereka. Ibuku sosok yang paling sabar dan lembut. Bukan ia tak mau mengajarkanku tentang baca tulis. Sejak kecil, ia juga tak disekolahkan oleh kedua orang tuanya karena keterbelakangan ekonomi. Setidaknya, ibuku telah berusaha untuk membesarkanku. Itu saja sudah cukup bagiku, sekolah adalah cita-citaku yang paling tinggi. Impianku adalah, membahagiakan kedua ayah ibuku disaat aku sudah dewasa. Aku tak ingin lagi melihat mereka susah mencari nafkah untuk kami berempat.
“ ayah, ibu kemana” tanyaku kepada ayah.
Saat itu, hanya ada ayah yang sedang memotong kayu bakar disamping rumahku. Sedangkan ibu, tak terlihat dari pagi hari tadi.
“ mungkin belum pulang dari pasar” jawab ayah sambil mengusap keringat dari wajahnya.
“ barangkali ibu sedang membelikanku baju seragam sekolah ya..” pikirku.
Lalu, aku masuk kedalam rumah, mencoba membersihkan dapur yang sedikit terlihat berantakan. “pasti ibu senang, jika melihat rumah sudah bersih” hatiku terus berkata-kata, tak sabar menunggu kepulangan ibu dari pasar.
Hampir pukul empat sore, ibuku belum juga sampai dirumah. Aku bertanya lagi pada ayah yag keduua kalinya tentang keberadaan ibu, Tapi ayah hanya terdiam. Tak sedikitpun keluar jawaban dari ayahku. Aku mulai cemas, hatiku merasa gelisah terus-menerus. Perasaanku ada sesuatu tapi apa??
“sepertinya ayah ada menyembunyikan sesuatu dibalikku”
“ tapi apa??”. Hatiku terus bertanya-tanya.
Aku berdiri didepan pintu, sambil melihat kearah jalan. Tak ada tanda-tanda kepulangan ibu dari pasar. Hanya ada warga setempat yang sedang mondar-mandir di tengah jalan dengan menaiki kereta butut milik mereka.
Tiba-tiba, kereta yag kupandangi itu, menuju kearah rumahku. Tubunya kurus, tinggi, dengan rambut yang ikal, bergerak cepat tepat dihadapanku. Nafasnya tak teratur lagi, ia terlihat kelelahan seperti berlari dikejar srigala. Namanya joko. Aku sering memaggilnya pak joko, meskipu diusianya yang keempatpuluh tahun belum menikah, aku tetap menganggpnya abang sendiri. Karena ia begitu baik dengan keluargaku.
“ ada apa pak...” tanyaku panik.
“ibumu..ib..ibu..mu..kecelakaan” jawabnya terengah-engah.
Aku dan ayah langsung menaiki kereta pak joko menuju kerumah sakit umum di kota Groeng-Groeng. Di sepanjang perjalanan, air mataku terjatuh, tak sanggup mendengar berita itu.
Tiba dirumah sakit, ayahku lagsung memasuki kamar ibu diruang ICU, tapi kakiku terhenti dipintu menuju kamar ditempat dimana ibu dirawat. Dari balik kaca kamar yang kecil, aku menatap kedalam ruangan. Hanya tubuh ayah yang kulihat jelas. Diatas matress ada sosok tubuh yang terbaring, berselimut putih, yang tak tampak wajahnya oleh mataku. Ayah mengusap wajah ibu dengan penuh perasaan, seolah memberikan kasih-sayang kepadanya. Aku mebuka pintu secara berlahan-lahan, kupandangi wajah ibu dari rambut sampai ujung kaki. Aku mendesah panjang, air mataku terus membasihi kedua pipiku. Kini ibu telah pergi, pergi meninggalkan aku dan ayahku. Ia takkan pernah kembali lagi kedunia ini. Disamping tempat tidur, aku melihat seragam merah putih, seragam sekolah yang dijanjikan ibuku saat itu. Aku merasa sangat menyesal, karena keinginankuuntuk bisa mendaftar di Sekolah Dasar, ibu mengalami kecelakaan berat hingga meninggal dunia.
Kini usiaku genap Tujuh Tahun, aku belum juga memasuki dunia sekolah. Karena ayahku tak sanggup menafkahi aku dan adik-adikku yang lainnya. Pekerjaanku sehari-hari adalah membantunya untuk mencari kayu bakar. Seragam sekolah itu masih kusimpan baiik-baik dalam lemari kamarku. Karena keyakinanku suatu saat pasti akan tercapai.
“nak...”ayahku memanggiku.
Dengan suaranya yang penuh dengan lemah-lembut ia berkata:
“maukah kalian punya ibu lagi” tanyanya tp, agak sedikit gugup.
“aku hanya tersenyum”, meskipun ketiga kakakku merasa tak setuju dengan tawaran ayah.
“bisa yah...asalkan ani dapat ibu yang baik, seperti ibu yang dulu” jawabku. Karena aku merasa ibu tiri tak semuanya jahat. Seperti yang diceritakan dalam Senetron indonesia, itu hanya fiktif belaka bukan realiata.
“terima kasih nak...ayah dan ibu tak salah membanggakanmu, kau begitu sabar dan santun”
“ aku kembali menebar senyum”kepada ayah.
Hari pernikahan itupun terjadi, “ ya Allah, kini aku telah memiliki ibunda yang baru, karuniakanlah ia kebaikan untuk mendidik kami, seperti ibuku yang telah kau Ambil setahun yang lalu. Jadikanlah ia orang yang kau titipkan untuk membantu agar aku dapat bersekolah,” itulah harapanku saat ayahku sedang bersanding dengannya.
“ nak..kau panggil ia ibu, berbaktilah kepadanya seperti halnya kau sebelumnya” kata ayahku dihadapan ibu tiriku.
“ ia..ani akan mencobanya yah..” jawabku sambil mendekap erat ibu rose seolah aku sedang memeluk ibu kandungku sendiri. Tapi, kakakku sama sekali tak mau menganggapnya seorang ibu, meskipun ayah sudah membujukkanya. Sosok ayah tak pernah marah kepada kami semua. melainkan mendidik dengan penuh kebijaksanaan. Karena diamnya aku rindu kepadanya. bagiku Ia adalah sosok ayah yang terbaik didunia ini.
Setelah acara penikahan ayahku, aku dimasukkan oleh ibu kesekolah yang terhebat jauh lebih bagus dari sekolah yang kuimpikan tempo dulu.. “ betapa indahya sekolah itu, disana kita dapat membebaskan beban pikiran, belajar ahklak, dan juga dapat bergabung bersama orang disekeliling kita” itulah dunia sekolah.
Aku merasa bahagia, meskipun ibu kandungku belum sempat melihat aku memakai pakaia seragam sekolah, aku tetap berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu ketika cita-citaku akan segera tercapai. Itulah harapanku, dan juga keinginan ibuku.
Setelah menikah dengan ayah, ibu tiriku kini mempunyai seorang anak kembar. Namaya tina dan tini, selama aku hidup dengan ibu yang baru, tak ada sedikitpun ia memarahiku, bahkan ia sangat menyayangiku dan kakaku yang lainnya. Ia memang bekerja di sebuah perkantoran swasta milik warga negara Asing di daerah Sigli. Ia berada di bagian Humas, ayahku tak mengerti tentang bidang pekerjaannya, ia hanya seorang ayah yang bekerja menjadi buruh tani didesaku. Entah mengapa ibu bisa mencintai ayah, padahal begitu banyak laki-laki yang seprofesi dengannya. “ mungkin sudah jodoh ya” pkirku.
Enam tahun aku di sekolah dasar, baru kali ini aku melihat ayah tersenyum lebar dihadapan semua orang. Tak lain karena menerima ijazah kelulusanku yang medapatkan prestasi terbaik dari SD N.1 Meunasah Baroe saat itu. Kepala sekolah pak Anwar Abubakar menyalami ayahku dengan pelukan erat, seraya mengucapkan selamat “ kau beruntung memiiki anak yang cerdas serta baik, kalau bisa ia harus dilanjutkan” kata-kata pak Anwar tentu memasuki ruang hati ayahku. Dukungan untuk melajunjutkan sekolah ke tinggkat SMP tentu didambakan oleh ayah, dan juga pak anwar. “ terima kasih” balas ayahku dengan penuh rasa bangga. (Bersambung)
Ketegaran Sang aAnak
06.21 |
Label:
kumpulan cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar